Melacak Pengaruh Budaya dan Sejarah Singosari dalam Ragam Kuliner Lokalnya
Di balik kemegahan arca dan sisa-sisa candi yang bisu, pernahkah kita bertanya-tanya: aroma apa yang dulu menguar dari dapur-dapur di jantung Kerajaan Singosari?Ketika Ken Arok membangun dinastinya atau saat Kertanegara memperluas cakrawalanya, hidangan apa yang tersaji di hadapan rakyat dan para bangsawannya? Kuliner, sering kali luput dari catatan sejarah yang agung, sesungguhnya adalah naskah kuno yang bisa kita cicipi, sebuah manifestasi budaya yang paling jujur dan intim.
Melacak jejak kuliner lokal di sekitar peninggalan Singosari adalah sebuah upaya untuk memahami peradaban mereka tidak hanya melalui relief batu, tetapi juga melalui jejak rasa yang diwariskan.
Lumbung Pangan di Kaki Gunung Berapi
Untuk memahami masakan sebuah peradaban, kita harus terlebih dahulu melihat tanah tempat mereka berpijak. Wilayah kekuasaan Singosari, yang berpusat di dataran tinggi Malang, dianugerahi kesuburan luar biasa dari tanah vulkanik di kaki Gunung Arjuno dan Semeru.
Kondisi geografis ini menjadi fondasi utama bagi karakter kuliner mereka. Padi, tentu saja, menjadi primadona, tetapi kehidupan agraris saat itu juga sangat bergantung pada umbi-umbian seperti talas, ubi, dan suweg, serta aneka sayur-mayur yang tumbuh liar maupun dibudidayakan.
Inilah potret pertama dari dapur Singosari: sebuah dapur yang bersumber langsung dari alam sekitarnya. Konsep hidangan kemungkinan besar didominasi oleh teknik pengolahan sederhana yang memaksimalkan rasa asli dari bahan-bahannya.
Merebus, mengukus (didang), dan membakar adalah metode memasak yang paling lazim. Santan kelapa yang gurih dan gula aren yang manis menjadi dua pilar rasa yang hingga kini masih mendefinisikan banyak masakan Jawa.
Dapur Rakyat Jelata vs. Santapan Bangsawan
Seperti peradaban lainnya, terdapat jurang pemisah antara apa yang dimakan oleh rakyat biasa dengan apa yang tersaji di meja istana. Dapur rakyat adalah cerminan dari efisiensi dan kesederhanaan.
Hidangan seperti bothok, yang memanfaatkan ampas kelapa dengan isian sederhana, atau jangan bening (sayur bening) yang hanya mengandalkan temu kunci dan sedikit garam, adalah wujud kecerdasan mengolah bahan yang terbatas menjadi santapan bergizi. Jelajahi peninggalan bersejarah lainnya di Malang Raya untuk melihat konteks kehidupan mereka.
Sementara itu, dapur istana adalah panggung bagi simbol status dan kekuasaan. Penggunaan daging dari hasil buruan seperti kijang atau unggas, serta pemakaian rempah yang mungkin didatangkan melalui jalur perdagangan terbatas, menjadi pembeda utamanya.
Meskipun cabai belum dikenal pada masa itu, rempah seperti lada, jahe, kencur, dan kunyit sudah digunakan untuk menciptakan cita rasa yang lebih kompleks dan menghangatkan tubuh, sesuatu yang cocok untuk udara dingin dataran tinggi.
Gema Ritual dalam Simfoni Rasa
Pengaruh kuat sinkretisme Hindu-Buddha pada era Singosari tidak hanya terpahat pada candi, tetapi juga teraduk dalam masakan mereka.
Makanan memegang peranan krusial dalam upacara keagamaan dan ritual. Sesaji, yang terdiri dari hasil bumi terbaik seperti buah-buahan, umbi-umbian, dan tumpeng nasi, menunjukkan betapa dalamnya rasa syukur masyarakat terhadap alam.
Komponen-komponen sesaji ini secara perlahan meresap ke dalam pola makan sehari-hari. Penggunaan kelapa parut yang dibumbui (urap), penganan dari beras ketan, serta aneka jajanan pasar yang manis legit dari gula aren, kemungkinan besar berakar dari tradisi kuliner ritualistik ini.
Makanan bukan lagi sekadar pengisi perut, melainkan sebuah medium untuk terhubung dengan yang ilahi dan semesta.
Jejak Rasa yang Abadi
Lantas, adakah sisa-sisa dapur Singosari yang masih bisa kita temukan hari ini?
Jawabannya ada, meski telah melalui evolusi selama ratusan tahun. Mendol, makanan khas Malang yang terbuat dari tempe semangit yang dibumbui dan digoreng, adalah gema dari kearifan teknik fermentasi untuk pengawetan pangan.
Sego jagung atau nasi empok, yang kini menjadi kuliner nostalgia, adalah pengingat bahwa beras pernah menjadi komoditas berharga dan masyarakat kuno sangat adaptif dengan sumber karbohidrat alternatif.
Setiap kali kita menyantap semangkuk rawon atau sepiring pecel di tanah Malang, kita sebenarnya sedang merasakan lapisan-lapisan sejarah.
Meskipun resepnya telah banyak berubah, bahan-bahan dasarnya beras, umbi, sayuran lokal, dan racikan bumbu lawas adalah benang merah yang menghubungkan kita langsung dengan para leluhur di masa Singosari. Pelajari lebih lanjut tentang resep masakan kuno Jawa untuk melihat kesinambungannya.
Baca juga :
Pada akhirnya, kuliner Singosari adalah tentang bagaimana sebuah peradaban besar berdialog dengan tanahnya, keyakinannya, dan struktur sosialnya. Ia adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya tersimpan dalam artefak, tetapi juga hidup dalam denyut rasa di lidah kita. Setiap suapan bukan lagi sekadar rasa, melainkan sebuah perjalanan melintasi waktu, kembali ke jantung sebuah kerajaan yang pernah jaya.
Pertanyaan yang sering ditanyakan:
1. Apa saja contoh hidangan spesifik yang kemungkinan besar dikonsumsi pada masa Kerajaan Singosari?
Meskipun tidak ada buku resep peninggalan zaman itu, berdasarkan relief, prasasti, dan analisis bahan pangan yang tersedia, para sejarawan meyakini hidangan mereka sangat bersahaja dan berbasis alam.
Contohnya antara lain: Umbi-umbian Bakar atau Kukus (seperti talas dan uwi), Jangan (Sayur) Bening dari dedaunan lokal dengan bumbu minimalis seperti temu kunci, Urap versi kuno yang terdiri dari sayuran rebus dengan parutan kelapa berbumbu, serta Bothok yang memanfaatkan ampas kelapa dan bahan sederhana lainnya yang dikukus dalam daun pisang. Kuncinya adalah pengolahan minimal untuk menonjolkan rasa asli bahan baku.
2. Apakah masyarakat Singosari sudah mengenal rasa pedas seperti masakan Indonesia modern?
Tidak seperti rasa pedas yang kita kenal sekarang. Rasa pedas yang dominan saat ini berasal dari cabai, tanaman yang baru diperkenalkan ke Nusantara dari benua Amerika pada abad ke-16 oleh para pedagang Eropa.
Kerajaan Singosari berdiri pada abad ke-13, jauh sebelum kedatangan cabai. Rasa “pedas” atau “hangat” pada masakan mereka lebih berasal dari rempah-rempah asli seperti lada (merica), jahe, dan kencur.
Jadi, meskipun masakan mereka kaya akan bumbu dan aroma, profil rasanya sangat berbeda dari masakan pedas berbasis cabai modern.
Penulis: Imel Mardiana Aulia Putri




