Tradisi Muludan di Madiun Sebagai Wisata Religi dan Budaya

NGLENCER - Bulan Rabiul Awal, atau yang dikenal sebagai bulan Mulud dalam kalender
Jawa, selalu membawa suasana berbeda di Madiun. Ini adalah waktu di mana kota
bertransformasi, memadukan kekhidmatan doa dengan kemeriahan pesta rakyat.
Inilah Tradisi Muludan di Madiun, sebuah perayaan untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad SAW yang telah menjelma menjadi salah satu atraksi wisata
religi dan budaya paling otentik di Jawa Timur.
Perayaan ini lebih dari sekadar seremoni keagamaan. Ia
adalah sebuah kanvas besar yang melukiskan jejak sejarah, penghormatan kepada
leluhur, dan kuatnya akulturasi budaya Islam dengan tradisi luhur Jawa.
Bagi masyarakat Madiun, Muludan adalah momentum untuk bersyukur, berbagi, dan nguri-uri
kabudayan (melestarikan kebudayaan).
Dari prosesi kirab yang sakral hingga grebeg yang
riuh, artikel ini akan membawa Anda menyelami setiap sudut kemeriahan dan makna
di balik tradisi tahunan yang mempesona ini.
Dua Kutub Spiritual:
Pusat Perayaan Muludan Madiun
Kemeriahan Muludan di Madiun tidak terpusat di satu titik, melainkan
berdenyut di dua episentrum sejarah yang menjadi jantung spiritual kawasan ini.
Kedua lokasi ini adalah makam para tokoh besar yang berjasa menyebarkan ajaran
Islam di Madiun.
Gema Dakwah di Makam
Kuncen
Lokasi pertama adalah Kompleks Makam Kuncen di Kota Madiun. Tempat ini
merupakan peristirahatan terakhir Pangeran Timur, tokoh yang diyakini
sebagai Bupati Madiun pertama sekaligus salah satu penyebar awal Islam.
Selama bulan Mulud, kompleks ini menjadi pusat kegiatan keagamaan.
Pengajian akbar, pembacaan shalawat, dan tahlil massal digelar, menarik ribuan
peziarah. Suasananya khidmat, di mana aroma dupa berpadu dengan lantunan doa.
Perayaan di Kuncen mengingatkan kita pada fondasi sejarah Madiun sebagai
kadipaten Islam.
Kemeriahan Pesta Rakyat
di Sewulan
Kutub spiritual kedua yang tak kalah penting adalah Kompleks Makam dan
Masjid Agung Sewulan di Kabupaten Madiun. Di sinilah bersemayam Waliyullah Ki
Ageng Basyariyah. Perayaan Muludan di Sewulan dikenal memiliki skala yang
lebih besar dan meriah, sering kali menjadi puncak dari pesta rakyat.
Di sinilah tradisi Grebeg Mulud dan Kirab Pusaka
seringkali dilaksanakan dengan megah, menarik perhatian tidak hanya warga lokal
tetapi juga wisatawan dari luar daerah. Sewulan menjelma menjadi pasar tiban
(pasar malam) raksasa, di mana spiritualitas bertemu dengan ekonomi kerakyatan.

Puncak Acara: Rangkaian
Prosesi yang Sarat Makna
Tradisi Muludan di Madiun bukanlah acara satu hari. Ia adalah sebuah
rangkaian prosesi yang berlangsung selama beberapa hari, masing-masing memiliki
makna filosofis yang dalam.
Jamasan Pusaka:
Mensucikan Warisan Leluhur
Sebelum puncak acara, seringkali diadakan ritual Jamasan Pusaka.
Ini adalah prosesi sakral membersihkan atau mensucikan benda-benda pusaka
peninggalan para leluhur, seperti keris, tombak, atau bendera.
Ritual ini biasanya dilakukan secara tertutup atau terbatas oleh para
sesepuh dan ahli waris. Maknanya bukan untuk menyembah benda, melainkan sebagai
bentuk penghormatan (respect) terhadap sejarah dan perjuangan para pendahulu. Air
dan bunga yang digunakan dalam prosesi ini melambangkan penyucian, baik
secara fisik maupun spiritual, untuk kembali ke fitrah.
Baca Juga: Keindahan Masjid Kuno di Madiun, Warisan Islam Jawa yang Masih Terjaga
Kirab Pusaka:
Arak-Arakan Penghormatan Sejarah
Setelah disucikan, pusaka-pusaka tersebut akan diarak dalam sebuah Kirab
Pusaka. Ini adalah pemandangan yang sangat mengesankan. Rombongan
berpakaian adat Jawa (beskap) dan prajurit keratonan berjalan khidmat, membawa
pusaka-pusaka tersebut untuk diperlihatkan kepada publik.
Suasana magis sangat terasa. Bunyi gamelan atau lantunan shalawat
mengiringi langkah. Kirab ini adalah simbol bahwa masyarakat Madiun tidak
pernah melupakan akarnya. Ini adalah cara mereka "menghadirkan"
kembali spirit para leluhur di tengah-tengah kehidupan modern.
Grebeg Mulud dan
Gunungan: Puncak Kemeriahan dan Syukur
Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu: Grebeg Mulud. Puncak
dari pesta rakyat ini ditandai dengan arak-arakan gunungan. Gunungan
adalah tumpukan besar berbentuk kerucut yang tersusun dari hasil bumi, seperti
sayuran, buah-buahan, dan jajanan pasar.
Gunungan ini melambangkan kemakmuran dan rasa
syukur kepada Tuhan atas rezeki yang melimpah. Setelah didoakan oleh pemuka
agama, gunungan ini akan menjadi "rebutan" oleh masyarakat yang
hadir.
Filosofi di Balik "Rebutan"
Bagi orang luar, adegan rebutan mungkin terlihat
kacau. Namun, di baliknya ada filosofi mendalam. Masyarakat percaya bahwa
bagian apa pun dari gunungan yang berhasil mereka dapatkan akan membawa berkah
(ngalap berkah). Ini adalah bentuk partisipasi komunal, di mana rasa syukur
itu dibagikan dan dirayakan bersama-sama. Riuh rendah dan tawa adalah
bagian dari perayaan itu sendiri.
Harmoni Akulturasi
Budaya Islam dan Jawa
Tradisi Muludan di Madiun adalah contoh sempurna dari akulturasi
budaya yang harmonis. Ini adalah wujud nyata bagaimana Islam
"berdialog" dengan budaya Jawa yang telah mengakar.
Dakwah Kultural yang
Tetap Relevan
Para penyebar Islam di masa lalu, termasuk tokoh-tokoh yang dihormati di
Madiun, menggunakan pendekatan dakwah kultural. Mereka tidak memberangus
tradisi lokal, melainkan mengisinya dengan nilai-nilai tauhid.
- Tradisi slametan (syukuran) Jawa diadaptasi menjadi pengajian
dan tahlil.
- Tradisi grebeg yang sudah ada diadaptasi menjadi Grebeg
Mulud untuk merayakan hari besar Islam.
- Penghormatan pada leluhur (pusaka) tetap dijaga dalam koridor
penghormatan sejarah, bukan penyembahan.
Hasilnya adalah perayaan yang terasa islami namun sekaligus sangat
"Jawa". Inilah yang membuatnya unik dan mampu bertahan melintasi
zaman.
Dimensi Sosial dan
Ekonomi Kerakyatan
Muludan bukan hanya urusan spiritual. Selama perayaan berlangsung,
terutama di sekitar Sewulan, denyut ekonomi kerakyatan berdetak kencang.
Ratusan pedagang kecil membuka lapak, menjual makanan, mainan, hingga
kerajinan.
Ini adalah pesta rakyat dalam arti
sesungguhnya. Sebuah ruang di mana masyarakat dari segala lapisan berkumpul,
bersosialisasi, dan bergembira bersama. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial
(social cohesion) di antara warga.

Warisan Hidup yang
Memanggil untuk Dijelajahi
Tradisi Muludan di Madiun adalah sebuah paket wisata yang lengkap. Ia
menawarkan kekhidmatan wisata religi melalui ziarah dan doa di
makam-makam bersejarah. Pada saat yang sama, ia menyuguhkan kemeriahan wisata
budaya melalui prosesi kirab yang magis dan grebeg yang penuh suka cita.
Menyaksikan Muludan di Madiun bukan sekadar melihat
sebuah acara, melainkan merasakan denyut sejarah, kearifan lokal, dan semangat
gotong royong yang masih hidup. Ini adalah warisan yang terus dirayakan, sebuah
bukti bahwa Madiun adalah kota yang kaya akan makna spiritual dan budaya.
