Jumat, 07 November 2025

Tradisi Muludan di Madiun Sebagai Wisata Religi dan Budaya

: Suasana sakral kirab pusaka saat perayaan Muludan di Madiun, beberapa orang berpakaian adat Jawa membawa benda pusaka.


NGLENCER - Bulan Rabiul Awal, atau yang dikenal sebagai bulan Mulud dalam kalender Jawa, selalu membawa suasana berbeda di Madiun. Ini adalah waktu di mana kota bertransformasi, memadukan kekhidmatan doa dengan kemeriahan pesta rakyat. Inilah Tradisi Muludan di Madiun, sebuah perayaan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang telah menjelma menjadi salah satu atraksi wisata religi dan budaya paling otentik di Jawa Timur.

Perayaan ini lebih dari sekadar seremoni keagamaan. Ia adalah sebuah kanvas besar yang melukiskan jejak sejarah, penghormatan kepada leluhur, dan kuatnya akulturasi budaya Islam dengan tradisi luhur Jawa. Bagi masyarakat Madiun, Muludan adalah momentum untuk bersyukur, berbagi, dan nguri-uri kabudayan (melestarikan kebudayaan).

Dari prosesi kirab yang sakral hingga grebeg yang riuh, artikel ini akan membawa Anda menyelami setiap sudut kemeriahan dan makna di balik tradisi tahunan yang mempesona ini.

 

Dua Kutub Spiritual: Pusat Perayaan Muludan Madiun

Kemeriahan Muludan di Madiun tidak terpusat di satu titik, melainkan berdenyut di dua episentrum sejarah yang menjadi jantung spiritual kawasan ini. Kedua lokasi ini adalah makam para tokoh besar yang berjasa menyebarkan ajaran Islam di Madiun.

Gema Dakwah di Makam Kuncen

Lokasi pertama adalah Kompleks Makam Kuncen di Kota Madiun. Tempat ini merupakan peristirahatan terakhir Pangeran Timur, tokoh yang diyakini sebagai Bupati Madiun pertama sekaligus salah satu penyebar awal Islam.

Selama bulan Mulud, kompleks ini menjadi pusat kegiatan keagamaan. Pengajian akbar, pembacaan shalawat, dan tahlil massal digelar, menarik ribuan peziarah. Suasananya khidmat, di mana aroma dupa berpadu dengan lantunan doa. Perayaan di Kuncen mengingatkan kita pada fondasi sejarah Madiun sebagai kadipaten Islam.

Kemeriahan Pesta Rakyat di Sewulan

Kutub spiritual kedua yang tak kalah penting adalah Kompleks Makam dan Masjid Agung Sewulan di Kabupaten Madiun. Di sinilah bersemayam Waliyullah Ki Ageng Basyariyah. Perayaan Muludan di Sewulan dikenal memiliki skala yang lebih besar dan meriah, sering kali menjadi puncak dari pesta rakyat.

Di sinilah tradisi Grebeg Mulud dan Kirab Pusaka seringkali dilaksanakan dengan megah, menarik perhatian tidak hanya warga lokal tetapi juga wisatawan dari luar daerah. Sewulan menjelma menjadi pasar tiban (pasar malam) raksasa, di mana spiritualitas bertemu dengan ekonomi kerakyatan.

 

Ritual jamasan pusaka di Madiun, tangan seseorang sedang membersihkan sebilah keris kuno dengan bunga dan air.

Puncak Acara: Rangkaian Prosesi yang Sarat Makna

Tradisi Muludan di Madiun bukanlah acara satu hari. Ia adalah sebuah rangkaian prosesi yang berlangsung selama beberapa hari, masing-masing memiliki makna filosofis yang dalam.

Jamasan Pusaka: Mensucikan Warisan Leluhur

Sebelum puncak acara, seringkali diadakan ritual Jamasan Pusaka. Ini adalah prosesi sakral membersihkan atau mensucikan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur, seperti keris, tombak, atau bendera.

Ritual ini biasanya dilakukan secara tertutup atau terbatas oleh para sesepuh dan ahli waris. Maknanya bukan untuk menyembah benda, melainkan sebagai bentuk penghormatan (respect) terhadap sejarah dan perjuangan para pendahulu. Air dan bunga yang digunakan dalam prosesi ini melambangkan penyucian, baik secara fisik maupun spiritual, untuk kembali ke fitrah.

Baca Juga: Keindahan Masjid Kuno di Madiun, Warisan Islam Jawa yang Masih Terjaga

Kirab Pusaka: Arak-Arakan Penghormatan Sejarah

Setelah disucikan, pusaka-pusaka tersebut akan diarak dalam sebuah Kirab Pusaka. Ini adalah pemandangan yang sangat mengesankan. Rombongan berpakaian adat Jawa (beskap) dan prajurit keratonan berjalan khidmat, membawa pusaka-pusaka tersebut untuk diperlihatkan kepada publik.

Suasana magis sangat terasa. Bunyi gamelan atau lantunan shalawat mengiringi langkah. Kirab ini adalah simbol bahwa masyarakat Madiun tidak pernah melupakan akarnya. Ini adalah cara mereka "menghadirkan" kembali spirit para leluhur di tengah-tengah kehidupan modern.

Grebeg Mulud dan Gunungan: Puncak Kemeriahan dan Syukur

Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu: Grebeg Mulud. Puncak dari pesta rakyat ini ditandai dengan arak-arakan gunungan. Gunungan adalah tumpukan besar berbentuk kerucut yang tersusun dari hasil bumi, seperti sayuran, buah-buahan, dan jajanan pasar.

Gunungan ini melambangkan kemakmuran dan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang melimpah. Setelah didoakan oleh pemuka agama, gunungan ini akan menjadi "rebutan" oleh masyarakat yang hadir.

Filosofi di Balik "Rebutan"

Bagi orang luar, adegan rebutan mungkin terlihat kacau. Namun, di baliknya ada filosofi mendalam. Masyarakat percaya bahwa bagian apa pun dari gunungan yang berhasil mereka dapatkan akan membawa berkah (ngalap berkah). Ini adalah bentuk partisipasi komunal, di mana rasa syukur itu dibagikan dan dirayakan bersama-sama. Riuh rendah dan tawa adalah bagian dari perayaan itu sendiri.

 

Harmoni Akulturasi Budaya Islam dan Jawa

Tradisi Muludan di Madiun adalah contoh sempurna dari akulturasi budaya yang harmonis. Ini adalah wujud nyata bagaimana Islam "berdialog" dengan budaya Jawa yang telah mengakar.

Dakwah Kultural yang Tetap Relevan

Para penyebar Islam di masa lalu, termasuk tokoh-tokoh yang dihormati di Madiun, menggunakan pendekatan dakwah kultural. Mereka tidak memberangus tradisi lokal, melainkan mengisinya dengan nilai-nilai tauhid.

  • Tradisi slametan (syukuran) Jawa diadaptasi menjadi pengajian dan tahlil.
  • Tradisi grebeg yang sudah ada diadaptasi menjadi Grebeg Mulud untuk merayakan hari besar Islam.
  • Penghormatan pada leluhur (pusaka) tetap dijaga dalam koridor penghormatan sejarah, bukan penyembahan.

Hasilnya adalah perayaan yang terasa islami namun sekaligus sangat "Jawa". Inilah yang membuatnya unik dan mampu bertahan melintasi zaman.

Dimensi Sosial dan Ekonomi Kerakyatan

Muludan bukan hanya urusan spiritual. Selama perayaan berlangsung, terutama di sekitar Sewulan, denyut ekonomi kerakyatan berdetak kencang. Ratusan pedagang kecil membuka lapak, menjual makanan, mainan, hingga kerajinan.

Ini adalah pesta rakyat dalam arti sesungguhnya. Sebuah ruang di mana masyarakat dari segala lapisan berkumpul, bersosialisasi, dan bergembira bersama. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial (social cohesion) di antara warga.

 

Kerumunan warga yang antusias berebut isi gunungan saat Grebeg Mulud Madiun, menunjukkan sisi kemeriahan pesta rakyat.

o

Warisan Hidup yang Memanggil untuk Dijelajahi

Tradisi Muludan di Madiun adalah sebuah paket wisata yang lengkap. Ia menawarkan kekhidmatan wisata religi melalui ziarah dan doa di makam-makam bersejarah. Pada saat yang sama, ia menyuguhkan kemeriahan wisata budaya melalui prosesi kirab yang magis dan grebeg yang penuh suka cita.

Menyaksikan Muludan di Madiun bukan sekadar melihat sebuah acara, melainkan merasakan denyut sejarah, kearifan lokal, dan semangat gotong royong yang masih hidup. Ini adalah warisan yang terus dirayakan, sebuah bukti bahwa Madiun adalah kota yang kaya akan makna spiritual dan budaya.

 

 


Sumber Gambar by AI

Penulis: Retno Ajeng T.A (prl)

Postingan Terkait

Provider Outbound Batu Malang

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *