Jumat, 07 November 2025

Keindahan Masjid Kuno di Madiun, Warisan Islam Jawa yang Masih Terjaga

Interior Masjid Kuno Sewulan Madiun, fokus pada empat pilar soko guru dari kayu jati tua yang kokoh.


NGLENCER - Saat menyebut Madiun, pikiran banyak orang mungkin langsung tertuju pada citra "Kota Pendekar" atau aroma khas nasi pecel. Namun, di balik dinamika modernnya, Madiun menyimpan lapisan sejarah yang hening dan sakral. Di sudut-sudut kotanya, berdiri kokoh masjid-masjid kuno yang menjadi saksi bisu perjalanan syiar Islam di Tanah Jawa.

Jauh dari gemerlap kubah modern dan menara beton yang menjulang, keindahan Masjid Kuno Madiun justru terletak pada kesederhanaan, kearifan, dan jejak akulturasi budaya yang kental. Ini bukan sekadar bangunan bisu; ini adalah warisan hidup, sebuah museum terbuka tempat arsitektur, spiritualitas, dan sejarah berpadu.

Mengunjungi peninggalan ini adalah sebuah perjalanan menembus waktu, menyelami bagaimana para pendahulu memadukan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal Jawa. Mari kita telusuri jejak warisan yang masih terjaga ini.

 

Jantung Sejarah Masjid Kuno Kuncen, Episentrum Syiar Pertama

Perjalanan kita dimulai di Kelurahan Kuncen, yang diyakini sebagai salah satu kawasan peradaban Islam tertua di Madiun. Di sinilah berdiri megah Masjid Kuno Kuncen, yang kini juga dikenal dengan nama Masjid Nur Hidayatullah. Didirikan pada abad ke-16, masjid ini adalah bukti fisik langsung dari era awal pemerintahan Islam di Madiun.

Masjid ini tak bisa dilepaskan dari sosok pendirinya, Pangeran Timur, yang merupakan putra Sultan Demak dan menjabat sebagai Bupati Madiun pertama. Keberadaannya menjadi penanda dimulainya era baru Madiun sebagai kadipaten di bawah pengaruh Islam.

Detail ukiran kaligrafi kuno yang berpadu dengan motif flora khas Jawa di salah satu pintu Masjid Kuno Madiun.


Arsitektur Atap Tumpang Tiga: Filosofi di Balik Kemegahan

Pandangan pertama ke Masjid Kuno Kuncen akan langsung tertuju pada atapnya. Alih-alih kubah bulat, masjid ini menggunakan arsitektur atap tumpang (atau tajug) bersusun tiga. Ini adalah ciri khas utama arsitektur masjid Jawa kuno.

Bukan sekadar bentuk, atap tumpang tiga ini sarat akan makna filosofis. Tiga tingkatan sering ditafsirkan sebagai tiga jenjang dalam ajaran Islam:

  1. Iman (Keyakinan)
  2. Islam (Ketaatan)
  3. Ihsan (Kesempurnaan Budi)

Struktur ini menunjukkan bagaimana Islam "berdialog" dengan budaya lokal, mengambil bentuk atap meru dari era sebelumnya dan mengisinya dengan makna tauhid.

Kekuatan Soko Guru dan Detail Ukiran

Memasuki ruang utama, pengunjung akan disambut oleh empat pilar utama yang kokoh, atau Soko Guru. Terbuat dari kayu jati utuh yang berusia ratusan tahun, Soko Guru ini bukan hanya penopang fisik bangunan, tetapi juga simbol penopang ajaran Islam.

Di beberapa bagian masjid, seperti mimbar dan lawang (pintu), masih dapat ditemukan sisa-sisa ukiran kuno. Uniknya, ukiran ini cenderung mengambil motif flora (tumbuh-tumbuhan), menghindari penggambaran makhluk hidup, yang sejalan dengan ajaran Islam namun dieksekusi dengan gaya seni Jawa yang halus.

Sendang Kuncen: Sumber Kehidupan yang Abadi

Di kompleks masjid, terdapat pula Sendang Kuncen, sebuah mata air kuno. Jauh sebelum adanya fasilitas wudhu modern, sendang inilah yang menjadi sumber air bersuci bagi para jamaah. Keberadaan sendang ini memperkuat fungsi masjid sebagai pusat kehidupan komunal, tidak hanya spiritual tetapi juga sosial.

 

Pesona Spiritual di Masjid Agung Sewulan

Bergeser sedikit dari pusat kota, kita akan menemukan permata arsitektur lainnya di Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan. Di sini berdiri Masjid Agung Sewulan, sebuah peninggalan bersejarah yang tak kalah pentingnya.

Masjid ini didirikan oleh seorang Waliyullah besar, Ki Ageng Basyariyah, yang merupakan keturunan dari tokoh-tokoh besar Mataram Islam dan memiliki silsilah yang tersambung dengan para Wali Songo.

Kesederhanaan yang Memancarkan Wibawa

Berbeda dengan beberapa masjid agung modern, Masjid Sewulan memancarkan keindahan melalui kesederhanaannya. Dinding-dindingnya yang kokoh dan suasana di dalamnya yang teduh seakan mengajak siapa pun untuk berzikir dan merenung.

Sama seperti Masjid Kuncen, arsitektur Masjid Sewulan juga kental dengan nuansa Jawa. Atap limasan yang besar menaungi aula utama, menciptakan ruang sholat yang sejuk dan hening. Ini adalah arsitektur yang dirancang untuk fokus pada ibadah dan ketenangan batin.

Warisan Dakwah yang Terus Hidup

Keistimewaan Masjid Sewulan tidak hanya pada bangunannya, tetapi pada warisannya yang terus hidup. Masjid ini adalah bagian tak terpisahkan dari kompleks makam Ki Ageng Basyariyah dan sebuah pondok pesantren tua.

Ini menunjukkan pola syiar Islam klasik di Jawa:

  • Masjid sebagai pusat ibadah.
  • Pesantren sebagai pusat kaderisasi dan ilmu.
  • Makam (tokoh pendiri) sebagai pusat ziarah untuk mengambil berkah (tabarruk) dan inspirasi.

Hingga hari ini, masjid ini tidak pernah sepi. Ia tetap berfungsi sebagai pusat ibadah harian sekaligus destinasi utama wisata religi Madiun, menarik peziarah dari berbagai penjuru.

 Baca Juga: Keindahan Masjid Kuno di Madiun, Warisan Islam Jawa yang Masih Terjaga

Membaca Ciri Khas Arsitektur Islam-Jawa di Madiun

Keberadaan Masjid Kuno Kuncen dan Sewulan memberi kita gambaran utuh tentang ciri khas arsitektur masjid kuno di Jawa, khususnya Madiun.

Dominasi Material Lokal: Kayu Jati dan Bata Merah

Arsitektur kuno ini sangat jujur pada materialnya. Tidak ada marmer impor atau baja. Kekuatannya bertumpu pada kayu jati pilihan (untuk tiang, rangka atap, dan kusen) serta bata merah yang diekspos untuk beberapa struktur seperti gapura atau pagar. Material lokal ini terbukti tahan cuaca dan zaman.

Tata Ruang Bernuansa Jawa

Tata letak masjid-masjid kuno ini biasanya mengikuti pola khas. Selalu ada serambi (teras) yang luas di bagian depan. Serambi ini berfungsi sebagai ruang transisi, tempat bersosialisasi, atau bahkan tempat belajar mengaji non-formal. Baru kemudian masuk ke ruang sholat utama yang sakral.

Seringkali, kompleks masjid juga dilengkapi dengan gapura (gerbang) bergaya khas yang menandai pintu masuk ke area suci, menunjukkan sisa-sisa pengaruh arsitektur era sebelumnya yang diadaptasi dengan indah.

 

Menjaga Warisan Antara Pelestarian dan Modernisasi

Menjaga bangunan berusia ratusan tahun bukanlah perkara mudah. Masjid Kuno Madiun ini menghadapi tantangan zaman, terutama dalam upaya pelestarian.

Meskipun renovasi modern terkadang tak terhindarkan untuk kenyamanan jamaah (seperti penambahan keramik atau fasilitas toilet), upaya besar dilakukan untuk mempertahankan bagian-bagian inti yang bersejarah. Peran juru kunci dan masyarakat sekitar menjadi vital dalam menjaga keaslian dan merawat peninggalan ini sebagai cagar budaya.

Bagi pengunjung, mengunjungi masjid-masjid ini bukan sekadar untuk berfoto. Ada etika yang perlu dijaga:

  • Kenakan pakaian yang sopan dan menutup aurat.
  • Jaga ketenangan, terutama jika ada orang yang sedang beribadah.
  • Niatkan kunjungan untuk menghargai sejarah dan mengambil pelajaran.

 

Suasana Sendang Kuncen yang teduh, sumber air kuno di kompleks Masjid Kuno Kuncen yang masih digunakan.

Jendela Menuju Sejarah dan Spiritualitas Madiun

Masjid Kuno Kuncen dan Masjid Agung Sewulan adalah warisan tak benda (intangible heritage) yang diwujudkan dalam bentuk fisik. Mereka adalah bukti nyata bagaimana Islam masuk ke Madiun tidak dengan menghapus budaya yang ada, melainkan merangkulnya dalam harmoni.

Mengunjungi Masjid Kuno di Madiun ini adalah sebuah pengalaman spiritual yang utuh. Kita tidak hanya melihat bangunan, kita merasakan getaran sejarah, kearifan para pendiri, dan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Mereka adalah jendela otentik untuk melihat wajah Islam Jawa yang damai dan berbudaya.

 

 



Sumber Gambar by AI

Penulis: Retno Ajeng T.A (prl)

Postingan Terkait

Provider Outbound Batu Malang

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *