Paket Outbound Wisata Bromo Batu Malang

Sabtu, 27 September 2025

Uceng Goreng: Camilan Gurih Khas Blitar yang Mulai Langka

 

NGLENCER - Bagi orang Blitar, uceng goreng bukan sekadar lauk. Dia merupakan pengingat masa kemudian suatu hidangan simpel yang mengikat memori hendak desa, sungai, serta kebersamaan di meja makan.

 

Uceng Goreng: Camilan Gurih Khas Blitar yang Mulai Langka



Dulu, uceng goreng mudah ditemui di warung-warung kampung, bahkan menjadi teman setia nasi jagung atau sambal tomat pedas. Kini, posisinya tak lagi sekuat dulu. Uceng goreng mulai menjadi barang langka, dan perlahan tergeser oleh lauk-lauk yang lebih modern.

 

Bagaimana kisah ikan kecil ini? Mengapa uceng goreng begitu membekas di hati warga Blitar, dan mengapa pula ia kian sulit dijumpai?

 

Mengenal Ikan Uceng, Si Kecil yang Tak Boleh Diremehkan

Uceng merupakan ikan air tawar yang wujudnya ramping, panjangnya tidak lebih dari jari kelingking orang besar. Ikan ini hidup di sungai-sungai yang airnya jernih, berbatu, dan memiliki arus cukup deras. Di daerah Blitar, uceng dulu banyak ditemukan di aliran sungai pedesaan. Cara menangkapnya pun sederhana: dengan jala kecil, seser bambu, atau jebakan tradisional yang dipasang malam hari.

 

Walau kecil, uceng memiliki cita rasa khas yang tak tergantikan oleh ikan kolam seperti lele atau mujair. Dagingnya lembut, dengan aroma khas ikan sungai yang gurih alami. Inilah yang membuat uceng istimewa. Sekali ditangkap dalam jumlah banyak, uceng bisa menjadi santapan keluarga selama beberapa hari—baik digoreng, dijadikan peyek, atau dimasak dengan cara lain.

 

Gurih Renyah yang Menggoda Selera

Rahasia kelezatan uceng goreng khas Blitar terletak pada kesederhanaan bumbunya. Biasanya hanya bawang putih, ketumbar, kunyit secukupnya, dan garam. Setelah dibersihkan, ikan ini direndam sebentar dalam bumbu, lalu digoreng dengan minyak panas hingga kering kecokelatan. Hasilnya? Tekstur kriuk di luar, gurih lembut di dalam. Setiap gigitan menghadirkan sensasi yang sulit dilupakan.

 

Orang Blitar punya cara unik menikmatinya. Terdapat yang menyantapnya selaku lauk pasangan nasi jagung dengan urap sayur. Ada pula yang lebih suka menjadikannya camilan sore, ditemani teh panas atau kopi tubruk. Bahkan, tak sedikit yang menyukai bagian kepala uceng karena dianggap bagian paling gurih.

 

Dulu Merajalela, Kini Semakin Jarang Ditemui

Jika kita mundur sekitar dua atau tiga dekade ke belakang, uceng goreng bukanlah menu yang sulit dicari. Hampir setiap warung makan di Blitar—khususnya di daerah pedesaan—menyajikannya. Bahkan, banyak ibu rumah tangga yang menyimpan stok uceng goreng dalam toples untuk camilan keluarga.

 

Namun kini, situasinya berbeda. Ada beberapa faktor yang membuat uceng makin langka. Pertama, kondisi sungai yang berubah. Banyak aliran air yang dulu jernih kini mulai tercemar limbah rumah tangga atau aktivitas industri rumahan.

 

Habitat uceng pun menyusut. Kedua, pola konsumsi masyarakat juga berubah. Generasi muda lebih mengenal ikan budidaya seperti nila, lele, atau gurami yang lebih mudah didapat di pasar modern. Ketiga, permintaan uceng yang tinggi saat musim mudik atau liburan tidak diimbangi dengan ketersediaan, sehingga harga uceng naik dan penjualnya semakin sedikit.

 

Peyek Uceng: Saudara Dekat yang Lebih Awet

Selain uceng goreng, ada juga camilan lain yang tak kalah populer: peyek uceng. Bentuknya seperti peyek kacang, hanya saja isiannya uceng kecil yang digoreng bersama adonan tepung gurih. Peyek uceng banyak dijadikan oleh-oleh khas Blitar karena tahan lama, bisa dibawa ke luar kota, dan tetap renyah meski disimpan beberapa hari.

 

Namun, bagi para penggemar sejati, peyek uceng tetap tidak bisa menggantikan sensasi menyantap uceng goreng segar yang baru saja diangkat dari wajan panas. Bedanya ada pada aroma dan kelembutan dagingnya.

 

Di Mana Bisa Menemukan Uceng Goreng Sekarang?

Meski jumlahnya makin terbatas, beberapa titik di Blitar masih setia menyajikan kuliner khas ini. Beberapa rumah makan di kawasan Wlingi, Kanigoro, dan Kesamben dikenal sesekali menyajikan uceng goreng, terutama saat musim hujan ketika tangkapan ikan lebih banyak. Di Pasar Wlingi misalnya, ada pedagang yang menjual uceng segar di pagi hari, namun jumlahnya tak banyak.

 

Bagi perantau yang rindu uceng, sering kali mereka hanya mengandalkan momen pulang kampung untuk menikmatinya. Bahkan, ada yang rela memesan jauh-jauh hari kepada kerabat di kampung agar bisa membawa pulang uceng goreng sebagai buah tangan.

 

Kenangan Rasa yang Sulit Dilupakan

Uceng goreng bukan hanya soal rasa asin-gurih yang menggoda lidah. Lebih dari itu, ia menyimpan potongan-potongan kenangan masa lalu. Banyak orang Blitar mengingat uceng goreng sebagai hidangan masa kecil—saat makan siang di sawah, saat sore hari di teras rumah bersama teh panas, atau saat arisan keluarga di desa.

 

Setiap gigitan seakan membawa kembali aroma dapur masa lalu: wajan tanah liat, asap kayu bakar, dan suara gemericik sungai yang jadi saksi. Tak heran jika banyak perantau yang menyebut makan uceng sebagai “makan nostalgia”.

 

Upaya Melestarikan Kuliner Khas Blitar

Pertanyaan besar yang kini muncul adalah: haruskah uceng dilestarikan? Jawabannya, tentu saja iya. Uceng goreng adalah bagian dari identitas kuliner Blitar. Jika dibiarkan punah, maka hilanglah satu rasa khas yang selama ini menjadi bagian dari cerita daerah ini.

 

Beberapa komunitas lokal mulai bergerak. Ada yang menggalakkan program pembersihan sungai, ada pula yang menginisiasi budidaya uceng skala kecil untuk memenuhi permintaan pasar tanpa merusak populasi alami. Pemerintah daerah juga sesekali memasukkan uceng goreng dalam daftar kuliner unggulan saat festival kuliner tradisional.

 

Selain itu, kreativitas dari generasi muda juga dibutuhkan. Misalnya, mengembangkan produk olahan berbasis uceng yang lebih modern seperti keripik uceng, abon uceng, atau bahkan uceng frozen yang bisa dikirim lintas kota.

 

Baca Juga: Pecel Khas Blitar yang Autentik dan Lezat


Lebih dari Sekadar Camilan, Ini Warisan Rasa

Di tengah gempuran makanan cepat saji dan kuliner kekinian, uceng goreng hadir sebagai pengingat bahwa cita rasa sejati tidak selalu rumit. Ia sederhana, mudah dibuat, dan kaya cerita. Setiap rumah makan yang masih menjual uceng goreng sesungguhnya sedang menjaga warisan rasa agar tetap hidup.

 

Bahkan, beberapa pelaku usaha kuliner Blitar percaya bahwa mengangkat kembali uceng ke panggung utama bisa menjadi daya tarik wisata. Wisatawan yang datang ke Blitar tidak hanya diajak melihat makam Bung Karno atau candi-candi bersejarah, tetapi juga diajak mencicipi kuliner tradisional yang otentik.

 

Jangan Biarkan Uceng Hanya Jadi Cerita

Uceng goreng mungkin tidak pernah masuk daftar kuliner mewah. Ia tak sepopuler sate kambing atau rawon, namun kehadirannya selalu punya tempat di hati masyarakat Blitar. Sayangnya, kini uceng lebih sering jadi cerita ketimbang sajian nyata.

 

nglencer.id

Jika suatu hari Anda singgah ke Blitar dan menemukan warung yang masih menyajikan uceng goreng, jangan ragu untuk memesan. Santaplah perlahan, resapi rasa gurih yang datang dari ikan kecil yang pernah meramaikan sungai-sungai desa. Siapa tahu, dari gigitan pertama itu, Anda akan mengerti mengapa uceng goreng begitu dirindukan.

 

Uceng bukan sekadar ikan kecil. Ia adalah potongan sejarah, aroma kampung halaman, dan simbol kesederhanaan yang semakin langka di tengah dunia yang serba cepat ini.

 Penulis : Wilda Maulidia (lid)

Postingan Terkait

Provider Outbound Batu Malang

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *